-
Levine Bjerg posted an update 3 years, 6 months ago
SariAgri – Industri akuakultur atau perikanan budidaya merupakan sektor yang terus mengalami perkembangan dibandingkan dengan sektor perikanan tangkap. Meskipun demikian, aktivitas budi daya masih perlu adanya peningkatan efisiensi pada aspek pakan.
“Peningkatan efisiensi pada pakan masih diperlukan karena pemberian pakan menghabiskan biaya hampir 60-70 persen dari total biaya produksi untuk kegiatan budidaya,“ papar dosen sekaligus peneliti dari Fakultas
Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Muhammad Browijoyo Santanumurti, kepada Rabu (7/4).Lebih jauh Browijoyo menambahkan Pakan yang tidak bernutrisi tinggi juga memperlambat produksi budi daya karena rendahnya kandungan protein, mineral, lemak, dan asam amino esensial tidak dapat meningkatkan pertumbuhan (growth rate) dan kelulushidupan (survival rate) secara optimal.
Pada satu dekade terakhir, tambahnya, banyak inovasi pakan dikembangkan dari tanaman. Sayangnya penggunaan tanaman sebagai pakan ikan memiliki kelemahan, yaitu kandungan protein yang rendah, asam amino esensial yang tidak seimbang, palatibilitas yang kecil, adanya kandungan anti-nutrisi dan bersaing dengan industri lain.
“Salah satu bahan yang dapat dijadikan alternatif sebagai sumber pakan adalah maggot, “ kata dia.
Browijoyo menguraikan magot (Hermetia illucens) atau yang masyarakat kenal sebagai larva serangga lalat hitam (Black soldier fly) berpotensi digunakan sebagai sumber pakan alternatif untuk ikan.
Magot memiliki kandungan 55 persen protein, 35 persen lemak, omega-3, vitamin, mineral, fiber dan asam amino essensial seperti histidin, asam gluatamat, asam aspartat, methionin dan cystine.
Selain memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, magot memiliki banyak kelebihan untuk dimanfaatkan sebagai pakan ikan, yaitu tingkat produksi dan efisiensi pakan yang tinggi, tidak membutuhkan banyak air, produksi gas dan limbah yang rendah, resiko pathogen kecil dan mudah dibudidayakan.
“Karena potensi tersebut, magot dapat digunakan sebagai pakan untuk kegiatan budi daya ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana potensi maggot sebagai bahan substitusi pada pakan ikan,“ ungkapnya.
Namun sebelum diberikan pada ikan budi daya, tepung maggot difermentasi selama 7 hari dan dilakukan analisis proksimat.
“Penelitian ini ada dua aktivitas, yaitu membandingkan analisis proksimat antara tepung maggot yang difermentasi dengan yang tidak difermentasi dan mengetahui kemampuan tepung magot terfermentasi sebagai substitusi pakan komersial,“ paparnya.
Pada penelitian yang dilakukannya, M. Browijoyo merinci penggunaan P1 (100 persen pakan komersial), P2 (88 persen pakan komersial + 12 persen tepung magot terfermentasi), P3 (86 persen pakan komersial + 14 persen tepung magot terfermentasi), P4 (84 persen pakan komersial + 16 persen tepung magot terfermentasi, dan P5 (82persen pakan komersial + 18 persen tepung magot terfermentasi) untuk membandingkan dengan kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan magot yang difermentasi memiliki protein kasar, lemak kasar, Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN), dan energi metabolisme lebih tinggi daripada yang tidak difermentasi.
“Akhir Penelitian saya ini ditemukan substittusi tepung maggot terfermentasi memiliki hasil analisis proksimat yang tidak berbeda nyata dengan pakan komersial 100 persen. Hal ini menunjukkan tepung magot terfermentasi dapat digunakan pada pakan ikan sebagai substitusi karena harganya yang lebih murah dan memiliki kandungan nutrisi yang tidak kalah dengan tinggi dengan pakan komersial,“ pungkasnya.